Saturday, May 22, 2010

Lelaki Penjual Kerupuk

Laki-laki tua itu mempunyai mimik wajah yang kelihatan mengisyarakan keramahan, dengan goresan gestur wajah dekat pipi dan bibirnya yang nampak dia itu selalu tersenyum. Penampilan sederhana, selalu mengenakan topi, berbadan tak terlalu besar dan gigi yang sudah tidak genap lagi dengan kerutan-kerutan di wajah yang menandakan dia sudah banyak memakan garam kehidupan. Usianya rasanya sudah menginjak kepala 6, atau bahkan mendekati kepala tujuh. Dia adalah penjual krupuk di pasar Rawa Indah yang selalu rajin kukunjungi setiap hari Sabtu di saat aku belanja mingguan.



Kegemaran kami di rumah, suamiku, aku dan bahkan anakku yang masih balita adalah makan krupuk. Setiap makan tak lepas dengan pelengkap krupuk, itulah orang Jawa konon seperti itu kebiasaannya. Dulu aku sering sekali membeli krupuk di warung-warung ecer, harganya pun tentunya berbeda bila kita langsung membelinya di pasar. Sejak tahu bahwa harga di pasar dengan membelinya langsung satu bangkot (isi 10 plastik) ternyata jauh lebih murah, akhirnya aku memutuskan untuk selalu membeli krupuk di pasar. Kubeli krupuk di tempat salah seorang bapak tua dengan harga yang relatif murah. Setelah beberapa kali aku membeli krupuk di situ, secara kebetulan aku dibawakan krupuk mentah oleh mertuaku banyak sekali, sehingga untuk waktu yang lama aku tak pernah lagi membeli krupuk si sana.

Kira-kira sebulan yang lalu, cadangan krupuk mentah dari mertua habis, mau tidak mau aku berlangganan lagi kepada bapak tua itu. Ketika melihat kemunculanku lagi, seolah dia gembira sekali. Dia pun menyapaku dengan panggilan “Bu..”. 

Kusambut dengan senyuman dan mengambil krupuk kegemaranku lalu kuulurkan uang sepuluh ribuan dan berkata “tesih wolung ewu nggih pak?” (Masih delapan ribu khan pak?), 

lalu dia menjawab “Inggih bu..”. 

Dengan sapaan ramah dia pun menanyakan tempat tinggalku, lalu kubilang saja di dalam kompleks Badak. Lalu dia menatapku dalam, seolah ada satu kerinduan yang terpendam. Membuatku menjadi salah tingkah ketika dia menatapku. Lalu dia pun membuka pembicaraan dengan satu cerita singkat.
“Sampeyan niku mirip mantu kula bu, tapi sak niki dibeto anak kula ten Qatar” (Anda itu mirip dengan menantu saya Bu, tapi sekarang dibawa anakku ke Qatar).

Agak sedikit kaget bercampur haru juga karena tidak menyangka anak seorang penjual krupuk bisa sampai ke Qatar. Kupikir anaknya jadi TKI di sana, lalu aku lebih terperanjat lagi mendengar kelanjutan ceritanya, dengan masih menatapku dalam dengan penuh kerendahan hati tanpa berniat menunjukkan kesombongan.

“Anak kula niku riyen nyambut damel ten PKT, trus daptar kerjo ten Qatar. Lha Bu, saking tigangatus tiyang, namung pitu ingkang ditampi. Anak kula niku mlebet bu, tes-e kemawon ten Jakarta. Sak niki bayare pun tigangpuluh yuta, riyen namung kawan yuta.” (Anak saya dulu kerja di PKT, lalu mendaftar kerja di Qatar. Lha Bu, dari 300 orang, Cuma 7 orang yang diterima. Anak saya termasuk di dalamnya, tesnya saja harus ke Jakarta. Sekarang bayarannya udah 30 juta, padahal dulu Cuma 4 juta.). 

Subhanalloh, demikian bangganya bapak tua itu, dan aku yakin setiap orang tua pasti bangga melihat anaknya berhasil. Namun sepertinya bapak itu merasa lebih bangga lagi karena dia yang hanya menjual krupuk yang notabene “barangkali” hidup dengan keadaan yang serba pas-pasan tapi bisa melihat anaknya berhasil sampai melanglang buana ke negeri orang. 

Setelah itu, dia berikan kembalian dua ribu rupiah kepadaku. Lalu mengulangi lagi ucapannya seperti di awal “Sampeyan niku saestu mirip kaliyan mantu kula”. (Anda itu bener-bener mirip dengan menantu saya). Seorang penjual kerupuk yang sepetinya sayang sekali dengan menantunya yang nun jauh di sana tapi tetap memikirkannya. 

Seminggu setelah itu, aku pun menyambangi bapak tua itu untuk membeli kerupuk. Ketika menyodorkan uang dan dia menerimanya, lagi-lagi dia menatapku dan tersenyum bahagia bercampur rindu. Lalu berkata lagi “Perawakan, pakaian lan wajahipun sampeyan memper mantu kula, saestu..” (Perawakan, cara berpakaian dan wajah Anda bener2 mirip mantu saya). Seolah dia itu benar2 ingin mengungkapkan kerinduannya yang berbuncah kepadaku. Aku pun hanya tersenyum terharu. 

Kejadian ini pun berulang di seminggu berikutnya. Hingga pada minggu ini, ketika aku berbelanja ke pasar. Kuingat aku masih mempunyai cadangan kerupuk minggu lalu yang belum habis. Tapi aku paksakan saja untuk membeli kerupuk. Baru melihatku dari kejauhan bapak tua itu sudah tersenyum lebar kepadaku. Tiba-tiba dia berkata “Mangke, menawi mantu kula dateng mbriki, cobi kula jejerke sampeyan kalih mantu kulo nggih?” (Nanti kalau menantu saya datang ke sini, coba saya sandingkan Anda dengan menantu saya ya?). Aku pun mengiyakan utk melegakannya.

Beruntung sekali menantunya itu mendapatkan bapak mertua yang demikian menyayangi dan merindukannya hingga dia ceritakan ke orang lain setiap waktu. Alhamdulillah, aku pun mempunyai mertua yang demikian memperhatikanku, hingga tiap hari minimal sekali aku pasti ditelepon mereka. Padahal semestinya aku lah yang muda yang seharusnya menelepon mereka dahulu. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin :)

Bontang, 22 Mei 2010

0 comments:

Post a Comment