Tuesday, April 19, 2011

Efektivitas Penerapan Stimulasi pada Balita

Oleh : Lian Dewi Angellia

Barangkali kita sering bertanya-tanya, bagaimana ya orang tua para orang hebat dalam mendidik anaknya sehingga anak-anaknya bisa mempunyai otak encer, cerdas, profesional, jujur, berIQ tinggi dan sebagainya? (misal seperti: A. Einstein [ilmuwan], Thomas Alva Edison [ilmuwan], Sehat Sutardja [pendiri Marvell Tech Group, imigran dari Indonesia yang tinggal di AS], pak SBY [Presiden RI yang cerdas dan berpendidikan tinggi], ibu Sri Mulyani [mantan MenKeu RI yang diakui dunia internasional], pak Habibie [mantan Presiden RI yang mempunyai IQ sangat tinggi], dan masih banyak lagi.

Tidak ada orang tua di dunia ini yang tidak ingin anaknya cerdas dan pintar bukan, bahkan keluarga miskin sekalipun, ketika mempunyai anak pasti mempunyai sebersit bahkan segudang harapan supaya kelak anaknya bisa menjadi orang sukses, membanggakan dan menjadi tumpuan kehidupan orang tuanya di masa yang akan datang.

Kebetulan beberapa waktu lalu, di stasiun lokal daerah saya didatangkan seorang narasumber Psikolog Anak yaitu ibu Sulfina Tanjung dengan tema pembahasan Stimulasi Dini Pada Balita. Berikut ringkasan pembahasannya.


Stimulasi dini merupakan rangsangan dini yang diberikan pada anak balita. Hal ini sebenarnya mengandung makna positif, hanya saja terkadang disalah artikan oleh orang-orang yang terlibat dalam pemberian stimulasi. Fenomena yang sekarang kerap muncul adalah adanya pergeseran pandangan dan keyakinan dari para orang tua, yaitu bahwa langsung memasukkan anak ke TK dengan tidak memasukkan anak ke playgroup dulu adalah merupakan keterlambatan pemberian stimulasi dini. Sehingga orang tua berlomba-lomba memberikan stimulasi dini pada anak hingga terkadang berlebihan. 

Kebetulan beberapa waktu lalu, di stasiun lokal daerah saya didatangkan seorang narasumber Psikolog Anak yaitu ibu Sulfina Tanjung dengan tema pembahasan Stimulasi Dini Pada Balita. Berikut ringkasan pembahasannya.


Sebenarnya pemberian stimulasi dini pada balita itu tidak salah diberikan, hanya saja yang perlu diperhatikan adalah penekanan stimulasi itu sendiri. Karena stimulasi itu sebenarnya terdiri dari stimulasi kognitif, motorik dan afeksi. Nah, fenomena yang kerap kita lihat sekarang adalah bahwa orang tua lebih menekankan aspek stimulasi kognitif pada anak tanpa diimbangi dengan aspek motorik dan afeksi. Di sinilah kesalahannya, karena memang kita fahami sistem pendidikan di negara memaksa kita dominan di awal menekankan aspek kognitifnya (misal masuk SD sudah harus bisa membaca, menulis, dan berhitung = "calistung").

Berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh Kathy Hirsh Pasek, Profesor Psikologi dari University of California terhadap anak yang diberikan stimulasi dini secara "berlebihan" dan yang tidak. Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang diberikan stimulasi dini secara "berlebihan" tidak memberikan kemampuan yang lebih menonjol dibandingkan dengan anak yang tidak diberikan stimulasi dini. Hanya saja dia melihat perbedaan dari segi minat, yaitu anak-anak yang sejak kecil diberikan stimulasi secara berlebihan minatnya cenderung turun pada saat remaja, hal ini berdampak pada masalah mengikuti pelajaran di sekolah. Hal ini mungkin bisa dilihat adanya kejenuhan dalam menerima pelajaran karena sejak kecil di-drill dengan hal-hal yang bersifat kognitif tanpa diimbangi dengan aspek lain. 

Aspek motorik mengandung makna pergerakan. Artinya stimulasi yang diberikan pun bermacam-macam tergantung usia anak. Misalnya untuk anak usia 3 bulan, sebelum bisa tengkurap bisa kita rangsang dengan menengkurapkan anak dan memberikan mainan atau benda di depannya sehingga anak terangsang untuk meraihnya. Untuk anak yang berusia lebih besar lagi misal setahun lebih bisa kita stimulasi dengan mengajaknya berlari-lari, naik turun tangga, melompat satu kaki, atau bersepedaan roda 3/mobil-mobilan yang bergerak dengan dipancal kaki. Atau untuk anak yang lebih besar lagi bisa kita stimulasi motorik halusnya dengan mewarnai, menggunting, menggambar bentuk atau meronce.

Untuk aspek afeksi adalah lebih pada emosi. Hal yang mudah dan paling bisa kita lakukan adalah dengan sentuhan, belaian, pelukan dan ciuman. Lebih jauh dari itu anak juga bisa kita bacakan dongeng dan menyimpukan bersama-sama moral dan hal-hal positif yang terkandung dalam cerita. Selain itu juga aspek afeksi lebih pada bagaimana mengajarkan anak untuk lebih bisa mengontrol emosi, misalnya berbagi mainan/makanan dengan teman (memberikan kefahaman pada anak bahwa manusia adalah makhluk sosial), membantu anak untuk selalu baik dengan orang-orang di sekitar (tidak memukul, tidak berteriak, dan lain sebagainya).

Membahas mengenai Golden Age atau periode emas pada anak, sebenarnya para pakar sendiri berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang berpendapat periode emas adalah masa 5 tahun pertama kehidupan, ada yang berpendapat 3 tahun pertama dan ada juga yang berpendapat 6 tahun pertama. Pada masa tersebut, otak bayi seperti spons yang memang mudah menyerap banyak pengetahuan sehingga orang trua terdorong untuk menstimulasi anaknya sebanyak-banyaknya. Yang mendasari pendapat periode emas itu sebenarnya adalah Brain Growth Spurt, yaitu di mana pertumbuhan jumlah sel otak dan ukuran sel otak pada saat itu meningkat dengan sangat pesat, sehingga menurut beberapa pakar pada masa itu memang bagus sekali untuk menstimulasi anak. Hanya saja pendapat ini ditentang oleh profesor ahli fisiologi dari Universitas Oxford, yaitu Prof. Collin Blackmore. Menurutnya, anak yang terlambat belajar formal di usia 7 tahun akan cepat menyusul anak yang pada usia 4 tahun belajar formal dan distimulasi sejak dini, dan performa mereka akan sama saja di usia 9 tahun.

Intinya di sini adalah tidak ada kata terlambat dalam menstimulasi anak. Orang tua tidak perlu latah dan cemas bila anaknya tidak masuk playgroup. Asalkan orang tua di rumah bisa menstimulasi secara berimbang dan menyesuaikan dengan usia + kemampuan anak, insyaAlloh anak kita tidak akan tertinggal dengan anak-anak lain. Tidak ada periode kritis untuk menstimulasi kognitif anak. Yang ada periode kritis, artinya anak akan kehilangan kemampuan ketika tidak diajarkan pada masa tertentu adalah ketika anak kehilangan kemampuan mendasar (motorik dasar), seperti melihat, mendengar, tengkurap, berjalan, berbicara, dan lain-lain. Ini berarti stimulasi bukannya tidak diperlukan oleh anak, tetapi kita sebagai orang tua harus memahami kebutuhan anak. 

Hal-hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam menstimulasi anak adalah mencari cara/metode maupun media stimulasi yang sesuai dengan tahap perkembangan anak dan tipe anak. Artinya, anak-anak yang visualnya lebih dominan akan lebih sesuai distimulasi dengan buku-buku bergambar yang menarik dan berwarna warni. Akan berbeda dengan anak yang dominan audionya atau pendengarannya, tipe seperti ini akan lebih sesuai untuk dibacakan cerita atau berdiskusi. Jadi, peran orang tualah untuk telaten memahami kebutuhan dan minat anak. Hal lain dalam menstimulasi anak adalah menjaga emosinya, artinya ketika masa belajar dan bermain dengan anak, pertahankan suasana yang nyaman sehingga anak tidak merasa terpaksa dan dapat menikmatinya.

Satu hal penting lagi yang cukup berkesan menurut saya adalah mengenai satu pertanyaan bahwa apakah anak yang di masa kecilnya menunjukkan kepintaran (misal IQ tinggi), akan menjamin kesuksesan di masa mendatang? Nah, dalam psikologi dikenal istilah "Resiliensi" yaitu seberapa mampu seorang anak itu bertahan dalam setiap permasalahan. Ibarat bola bekel, setinggi/semampu apakah dia dapat memantul/ bangkit setelah jatuh (berada di bawah  dalam keadaan susah, sedih, bermasalah).  Hal ini bisa menjawab satu pertanyaan di atas, jika memang seorang anak yang memang mempunyai kemampuan IQ yang tinggi dan ditunjang dengan ketahanan diri (resiliensi) yang mantap dan kuat, bisa jadi hal itu mendukung kesuksesan di masa mendatang. Karena sebenarnya, kehidupan seorang anak itu akan lebih kompleks dan tak se-sesimple dunia masa kecil saja, tapi dunia yang sebenarnya adalah nanti ketika anak berada di masa dewasanya. Itulah peran kita sebagai orang tua untuk mengantarkan dan membekali anak-anak kita tidak hanya dari segi konitif, tapi juga religi, aspek nonkognitif, dan budi pekertinya. Sukses di masa kecil belum tentu juga membawa kesuksesan di masa tuanya. Mumpung kita masih bisa berusaha, semoga kelak anak cucu kita membawa perubahan yang baik untuk masa depan dan kebaikan untuk orang tua, dan orang-orang di sekitarnya.

~salam hangat dari Ummu Ibrahim~
melihat, mendengar dan merasakan sesuatu untuk ditulis sembari belajar dan memotivasi diri sendiri

0 comments:

Post a Comment